(referensi lain menyebutkan tanggal 17 Mei 1989) rezim penjajah menangkap Syaikh Ahmad Yasin bersama
Pada tanggal 16 Oktober 1991, mahkamah militer Imperialis Israel mengeluarkan keputusan (tanpa sidang pengadilan)
dengan memvonis Syaikh Ahmad Yasin berupa penjara seumur hidup ditambah 15 tahun kurungan,
setelah disodorkan daftar tuduhan sebanyak sembilan item. Di antaranya seruan (provokasi) penculikan dan
pembunuhan terhadap serdadu-serdadu Imperialis Israel, pendirian Gerakan Hamas beserta sayap militer
dan dinas keamanannya.
Penahanan Syaikh Yasin beserta sebagian besar pimpinan gerakan Hamas di wilayah
Gaza dan Tepi Barat tidak menghentikan perjuangan. Justru hal itu membentuk simpati yang membuat
Hamas menjadi lebih berkembang dan lebih besar.
Dalam kurun waktu antara tahun 1989-1993 wilayah Gaza berubah menjadi neraka yang menakutkan
bagi para agresor. Brigade al Qassam, sayap militer Gerakan Hamas juga menjadi alat yang
menyulitkan penjajah, sesuatu yang mempercepat terselenggaranya kesepakatan Oslo.
Tujuannya adalah untuk melepaskan diri dari tekanan perlawanan yang dilakukan oleh
Hamas dalam menghadapi tentara penjajah.
Bertahun-tahun Syaikh Yasin menjadi tahanan penjara musuh. Namun, spirit dan pernyataannya yang
keluar dari dari penjara menghiasi perjalanan gerakan tersebut yang semakin membesar di mata orang
Palestina serta di mata dunia Arab dan Islam. Terutama setelah munculnya gerakan mati syahid yang ditetapkan oleh
Gerakan Hamas dalam melawan penjajah yang dipimpin oleh asy Syahid Yahya Ayyas yang mati syahid setelah
dibunuh pada tanggal 15 Januari 1996.
Bertahun-tahun Syaikh mendekam di penjara dengan menolak tawaran perkaranya diadili. Sementara itu gerakan
Hamas terus berkembang dan para penjajah menyadari ancaman eksitensi yang belum pernah dikenal dalam
sejarah mereka sebelumnya. Hal ini seperti yang diakui oleh Ya’kub Beiri dalam bukunya, Datang untuk membunuhmu.
Bunuh Ia segera!, yang mencatatkan sejarah perlawanan gerakan Hamas di masa asy-Syahid Yahya Ayyas dan sesudahnya.
Rabu pagi, tanggal 1 Oktober 1997, Syaikh Ahmad Yasin dibebaskan berkat perjanjian yang berlangsung
antara Jordania dan rezim Imperialis Israel, dengan kompensasi penyerahan dua agen (antek) Zionis yang tertangkap di
Jordania setelah mereka gagal dalam upaya pembunuhan terhadap al-Akh Khalid Misy’al,
Kepala Biro Politik Hamas di Amman pada tanggal 25 September 1997.
Setelah melanglang buana ke negara Arab, Syaikh kembali ke wilayah Gaza yang menyambutnya bak pahlawan.
Sang Pemimpin itupun kembali mengawasi anak-anaknya.
Pada tanggal 28 September 2000 perjalanan gerakan intifadhah untuk al-Aqsa mulai muncul dengan Syaikh Yasin
sebagai pemimpinnya. Ketika para pimpinan politik ditangkap dan dibunuh di Tepi Barat, wilayah Gaza relatif tidak
terjangkau oleh penjajah. Hal itu karena ia memang sulit dijamah. Hanya saja, kekuatan dan kehadiran pimpinan di Gaza,
terutama Syaikh Yasin, telah menyulut emosi penjajah. Mereka mulai melakukan gelombang pembunuan terhadap
para pemimpin militer dan politik. Maka, dibunuhlah Syaikh Solah Syahadah, Ibrahim al Muqadamah,
Ismail Abu Syanab serta puluhan pimpinan sayap militer lainnya termasuk pengganti Syaikh yasin,
Dr. Abdul Aziz Rantisi yang dibunuh Israel pada 17 April 2004, kurang dari sebulan setelah pembunuhan Syaikh Yasin.
Upaya pembunuhan juga dilakukan atas diri Dr. Mahmud Zehhar namun upaya itu gagal.
Pembunuhan terhadap diri Syaikh yasin memang sudak diperkirakan oleh semua pihak.
Terlebih setelah aksi heroik di Asdod pada tanggal 15 Maret 2004 oleh dua pejuang Palestina dari Gaza,
penjajah Zionis memutuskan oparasi pembunuhan dengan target para pimpinan gerakan politik guna melemahkan
eksistensi gerakan perlawanan. Maka pada Senin 22 Maret 2004, selepas keluar dari masjid usai menunaikan
shalat subuh, mobil yang ditumpangi Syaikh Yasin dibombardir tiga rudal yang ditembakan pesawat heli tempur
Apache buatan Amerika. Syaikh Yasin gugur syahid bersama delapan orang lainnya. Di antara mereka adalah para
pendampingnya. Itulah akhir kehidupan yang memang ia inginkan dan telah menjadi kehendak Allah.
Syaikh Yasin gugur syahid setelah menyempurnakan bangunan perlawanan dan merasa tenang karena
bangunan tersebut sangat indah, kuat, dan kokoh. Juga, setelah ia menciptakan kemenangan yang diketahui
oleh seluruh dunia lewat keputusan Sharon yang lari dari wilayah Gaza dengan dissengagement pan-nya.
Syaikh Yasin telah meninggal. Namun, perjalanan yang ia wujudkan dengan segala kesungguhan, perjuangan,
dan ruhnya akan terus maju hingga menghabisi penjajah. Kita telah kehilangan seorang pahlawan yang menjadi legenda,
seorang syaikh yang mulia, dan seorang pendidik utama. Ia menginginkan tanah air nenek moyangnya. Ia hendak
mewujudkan haknya. Ia ingin agar seluruh rakyat hidup dengan damai di tanah air yang merdeka dan bahagia.
Ia menuntut hak rakyat Palestina yang terkoyak oleh keputusan boneka PBB, oleh gerakan zionis serta
oleh antek-anteknya, juga pengkhianatan sejumlah pimpinan tentara Arab di tahun 1948 dan sesudahnya.
Syaikh Ahmad Yasin memang telah meninggalkan dunia. Namun, ia tidak lenyap dari jiwa rakyat Palestina
dan kaum muslimin. Ia adalah sosok yang melegenda. Ia hanya punya kursi roda, kepala, dan hati semata.
Itulah fisik dan kondisi Ahmad Yasin. Namun, ia telah membuat takut Israel dan para sekutunya,
membuat takut Israel dan agen-agen intelijennya, membuat takut beruang buas dan “penjagal” Sharon yang merubah
haluan pesawat berikut rudalnya kemudian diarahkan menuju kursi roda yang sedang ditumpangi tubuh yang lumpuh itu.
Selamat jalan Amir Mujahidin, Guru Perlawanan Palestina. Semoga Allah menempatkanmu di sisinya bersama para anbiya’,
syuhada’dan shidiqin karena mereka itulah sebaik-baik teman.